
Jakarta –
Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) wacana Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik menuai protes dari sejumlah pelaku industri hasil tembakau (IHT).
Salah satu yang disoroti yakni terkait pengaturan bungkus polos buat produk tembakau dan rokok elektronik, padahal dalam UU 17/2023 maupun hukum turunan Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 tak ada larangan penggunaan merek jualan dan konsep pada bungkus produk.
Di samping itu, PP 28/2024 juga tak memberi mandat hukum turunan untuk bungkus polos tanpa merek seumpama yang tertuang dalam RPMK ini.
Sekretaris Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Suryadi Sasmita merekomendasikan biar Permenkes tersebut dievaluasi dan ditinjau kembali sebelum dirumuskan. Selain itu, ia juga meminta pelibatan kelompok IHT dalam pembahasan hukum tersebut.
“Harus ada keterlibatan beberapa belah pihak yg secara seimbang. Jangan hingga cuma mengungguli sesuatu dengan yang yang lain. Karena suasana Indonesia di sekarang ini melakukan cukup kompleks,” kata Suryadi dalam keterangannya, Kamis (5/9/2024).
Baca juga: Pekerja Sektor Tembakau Harap Pemerintahan Baru Bisa Buka Poly Lapangan Kerja |
Ia menyatakan terdapat perbedaan suasana negara yang lain dengan Indonesia, di mana Indonesia mempunyai mata rantai IHT dengan tenaga kerja signifikan. Suryadi melanjutkan, duduk permasalahan hukum ini akan berefek besar terhadap keberlangsungan IHT serta pekerja terkait seumpama petani tembakau-cengkeh, produsen rokok, hingga buruh pekerja IHT dan peritel.
“Kita apresiasi upaya Kemenkes mengadakan public hearing. Tapi perlu diperhitungkan bahwa keadaan Indonesia berlainan dengan negara yang lain, misalnya ASEAN. Data kalian ada 6 juta tenaga kerja dalam IHT yg mau terdampak,” terang dia.
Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO) Benny Wachjudi menyertakan wacana bungkus polos dikhawatirkan memperburuk suasana rokok ilegal yg kian marak belakangan ini.
Hal ini dinilai akan menciderai industri lebih jauh dan juga berimbas terhadap penurunan penerimaan cukai negara yang ikut merosot tajam. “Nanti rokok ilegal yg mau makin bertebaran di pasaran. Rokok ilegal kan gak pakai bungkus apapun jadi. Nah kemudian secara umum, makin ketatnya regulasi di sektor ini ya akan makin berat untuk industri,” terangnya.
Benny menyatakan pihaknya sepakat untuk menangkal susukan pembelian produk tembakau buat bawah umur yg telah dijalankan lewat sejumlah inisiatif bertajuk ‘Tangkal Perokok Anak’. “GAPRINDO sudah menjalankan langkah-langkah eksklusif untuk menangkal perokok anak, mulai dari (sosialisasi melalui) situs web cegah perokok anak, poster, dan upaya lainnya. Namun, agresi ini hanya dijalankan sendiri tanpa sumbangan dari pihak Kementerian. Penindakan yg sudah dijalankan industri pun rupanya masih ditekan oleh adanya RPMK yang melenceng jauh dari upaya UU dan PP Kesehatan,” terang Benny.
Selain itu, GAPRINDO juga berkomitmen untuk selalu berkolaborasi dan menyediakan edukasi terhadap para peritel buat menjalankan pencegahan susukan pemasaran produk tembakau terhadap anak-anak. Benny melanjutkan bahwa sebaiknya upaya bagi menangkal perokok anak ini mesti dijadikan gerakan nasional, tergolong dari produsen rokok.
Ia juga mengingatkan bahwa Cukai Hasil Tembakau (CHT) masih menjadi penyumbang penerimaan cukai paling besar di Indonesia. Pada tahun 2023, penerimaan negara dari CHT meraih Rp213,48 triliun. Oleh alasannya yakni itu, Benny menekankan jangan hingga Indonesia disamakan dengan negara yang lain yang tak berpengaruh dari segi industri dan perkebunan tembakaunya.
“Industri tembakau di Indonesia itu beda. Cukai kita masih nyaris 10 persen dari penerimaan negara. Yang yang lain kan nggak. Makara nggak sanggup disama-samakan,” jelasnya.
Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), I Ketut Budhyman, juga menganggap RPMK ini sanggup membunuh rantai pasok hulu dan hilir industri rokok. Budhyman menganggap jikalau pemasaran produk tembakau dibatasi, nantinya ekosistem berhubungan tembakau juga mulai mati perlahan akan dari pemutusan korelasi kerja, perembesan materi baku, yang berujung pada matinya IHT.
Budhyman juga mempertanyakan penyelesaian dari pemerintah dalam mengatasi permasalahan tersebut, utamanya untuk keberlangsungan hidup para petani tembakau dan cengkeh. “Kalau pabriknya tutup, bagaimana? Kalau petani (memiliki pohon) cengkeh yang telah umur 50 tahun, mau dijual ke mana?” terang dia.
Leave feedback about this