
Jakarta – Tagar KaburAjaDulu kini ramai diperbincangkan dan digunakan oleh banyak anak muda di media sosial. Fenomena ini mencerminkan ketidakpuasan penduduk terhadap pemerintah Indonesia, yang dianggap mendorong generasi muda untuk mencari kehidupan lebih baik di luar negeri.
Tagar #KaburAjaDulu muncul setelah pemerintah merilis tingkat kepuasan terhadap kinerja 100 hari pertama yang mencapai angka 80%. Lantas, apa sebenarnya makna dari tagar ini? Pakar sosiologi dari Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Radius Setiyawan, memberikan penjelasannya.
“Kemunculan #KaburAjaDulu merupakan bentuk reaksi cepat yang secara refleks mencerminkan permasalahan sosial yang sedang terjadi. Ini adalah ungkapan kemarahan, kekecewaan, dan keputusasaan dari anak muda yang disampaikan melalui media sosial sebagai bentuk protes terhadap pemerintah,” katanya, dikutip dari laman UM Surabaya, Minggu (23/2/2025).
KaburAjaDulu: Fenomena Kekecewaan Anak Muda Terhadap Pemerintah
Menurut Radius, #KaburAjaDulu adalah sebuah fenomena anomali yang perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Ia menyarankan agar pemerintah tidak hanya fokus pada angka kepuasan yang disajikan, tetapi juga pada fenomena ketidakpuasan yang muncul.
“Pemerintah bangga dengan rating kepuasan kerja mereka, namun di sisi lain ada fenomena seperti ini. Pemerintah harus lebih memperhatikan respons ini dengan serius,” jelasnya.
Radius juga menekankan bahwa pemerintah seharusnya tidak bersikap sinis terhadap fenomena ini. Ekspresi kekecewaan ini tidak berarti bahwa anak muda tidak nasionalis, melainkan sebagai bentuk kepedulian mereka terhadap negara dalam cara yang berbeda.
“Fenomena ini bisa terkait dengan efisiensi anggaran pemerintah, terutama dalam isu-isu penting seperti pendidikan, energi, dan penanganan krisis iklim. Ini adalah bentuk kecintaan mereka terhadap Indonesia. Bukan soal nasionalisme, tetapi lebih kepada ekspresi ketidakpuasan terhadap kondisi yang ada,” lanjut Radius.
Menurut Radius, anak muda zaman sekarang lebih sadar akan disparitas global, khususnya dalam hal kualitas hidup di Indonesia dan negara-negara lain.
Disparitas global mencakup perbedaan dalam kualitas pendidikan, jaminan kesehatan, peluang kerja, hingga kebebasan berekspresi yang dirasakan oleh masyarakat.
Mengapa KaburAjaDulu Menjadi Suara Protes Anak Muda?
Radius juga mengomentari respons Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer, yang menanggapi tagar #KaburAjaDulu dengan pernyataan, “Kabur saja lah. Kalau perlu jangan balik lagi.”
Pakar sosiologi ini menilai bahwa respons tersebut tidak tepat. Menurutnya, sikap seperti ini hanya memperkuat kesan bahwa pemerintah anti-kritik.
“Saya kira respons semacam itu justru kontraproduktif. Komunikasi pemerintah dengan publik, khususnya anak muda, seharusnya tidak seperti itu. Dengan respons tersebut, pemerintah malah membuat publik ragu dan menganggap bahwa pemerintah tidak menerima kritik,” kata Radius.
Sebaliknya, Radius menilai respons yang lebih bijak datang dari Wakil Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Dzulfikar Ahmad Tawalla. Ia menyebut bahwa #KaburAjaDulu adalah cara anak muda untuk mengungkapkan pandangannya terhadap realitas yang mereka hadapi.
Radius mengingatkan bahwa fenomena ini harus menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi pemerintah, terutama dalam hal komunikasi publik. Pemerintah seharusnya tidak menanggapi #KaburAjaDulu dengan sikap sinis atau antagonis, terutama mengingat masa jabatan mereka masih panjang.
“Jika terlalu banyak perjalanan dinas yang dilakukan, itu menunjukkan bahwa ada masalah dalam prioritas kebijakan. Pemerintah harus mampu meyakinkan publik bahwa mereka bekerja untuk rakyat, bukan malah memberikan respons yang sifatnya antagonis,” tegas Radius.
KaburAjaDulu: Tidak Hanya Tentang Nasionalisme, Tapi Rasa Cinta pada Indonesia
Menurut Radius, #KaburAjaDulu ialah suatu anomali. Dengan demikian, Radius mengatakan pemerintah mesti meletakkan perhatian akan bentuk mulut warga ini.
“Pemerintah itu dengan bangganya menyajikan rating (kinerja), namun di satu segi ada fenomena itu. Saya kira pemerintah perlu membuat itu perhatian,” jelasnya.
Kemudian Radius menyinari bahwa pemerintah tidak perlu sinis terhadap fenomena ini. Ekspresi ini bukan memiliki arti anak muda tidak nasionalis, namun bentuk kepeduliaan mereka dalam bentuk lain.
“Ini mungkin kaitannya dengan efisiensi budget utamanya di permasalahan bidang penting menyerupai pendidikan, energi hingga penanganan tragedi dan krisis iklim. Menurut saya itu bab dari kecintaan mereka terhadap Indonesia. Bukan permasalahan nasionalisme, justru GenZ mengungkapkan mulut kecewa dan pemerintah mesti menyaksikan itu,” katanya.
Radius menyaksikan bawah umur muda zaman kini sadar terhadap disparitas global. Utamanya terkait mutu hidup di Indonesia dan banyak sekali negera lain.
Disparitas global merupakan perbedaan mutu pendidikan, jaminan kesehatan, peluang lapangan kerja hingga keleluasaan penduduk dalam berekspresi itu sendiri.
Pemerintah Tak Boleh Antikritik
Radius juga merespon soal Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer yg merespons #KaburAjaDulu dengan pernyataan “Kabur saja lah. Kalau perlu jangan balik lagi.”
Dosen sosiologi tersebut beropini bahwa Wamenake semestinya tidak menyodorkan demikian. Hal itu membuat kesan bahwa pemerintah anti-kritik.
“Saya kira justru kontraproduktif. Komunikasi pemerintah ke khalayak khususnya bawah umur muda harusnya tidak menyerupai itu. Approval rating itu karenanya menghasilkan orang ragu, dan menganggap bahwa pemerintah anti kritik dan sebagainya,” kata Radius.
Sebaliknya, Radius menganggap bahwa respons masuk akal layaknya disampaikan oleh Wakil Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Dzulfikar Ahmad Tawalla. Ia justru menyebut #KaburAjaDulu selaku bentuk mulut anak muda dalam menyaksikan realitas.
Radius memastikan fenomena ini mesti menjadi PR pemerintah utamanya dalam komunikasi publik. Seharusnya pemerintah tidak merespon #KaburAjaDulu dengan sinis dan antagonis utamanya masa jabatan masih berjalan lama.
“Misal terlampau banyak perjalanan dinas, memiliki arti bagaimana rujukan yg baru? Saya kira penduduk kita mulai menerima saat pemerintah meyakinkan publik. Yang menjadi permasalahan pemerintah menampilkan komunikasi yang sifatnya antagonis,” tegasnya.
Leave feedback about this